Senin, 14 November 2011

TAFSIR SEKTE


TAFSIR SEKTE
Oleh; Miftahul Ihsan
  1. Pendahuluan
Pemahaman penafsiran terhadap al-Quran adalah menjadi suatu realitas sejarah yang memiliki kecenderungan dan corak yang berbeda-beda mulai dari zaman nabi sahabat sampai tabiin bahkan sampai munculnya perpecahan akibat dari kontroversi perang saudara antara pendukung ali dan pendukung zubair dan thalhah yaitu kelompok yang mengambil jarak, memisahkan diri dan mengundurkan diri dari kedua belah pihak tersebut. Kesemuanya itu mengakibatkan perbedaan dalam pandangan keagamaan bahkan dalam penafsiran al-Quran untuk melegitimasi pendapat masing-masing dari mereka.
  1. Pembahasan,
1.      Perihal syi’ah
Perlu diketahui bahwa dalam tafsir juga terdapat sekte-sekte. Maka dalam hal ini perlu dikaji secara spesifik, di antaranya adalah perihal tafsir syiah. Syi’ah mempunyai tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh penganutnya dengan memasukkan kepentingan-kepentingn sekte keagamaan dan prinsip-prinsip dasar kedalam penafsiran al-Quran yang dianut oleh mereka (penganut paham syiah).
Para penganut syiah, mereka melontarkan gagasan “kesucian ali” serta para imam yaitu keyakinan mereka terhadab derajat keilahian ali dan para imam, keistimewaan mereka diatas batas kewajaran (di luar batas kewajaran) serta harapan kuat mereka terhadap imam mahdi yang sembunyi serta hidup didunia maya dan akan kembali pada dunia nyata nantinya setelah waktu menghendakinya yaitu sebelum akhir zman sebagai sang penyelamat semesta alam.
Perlu digaris bawahi bahwa timbulnya sekte-sekte dalam penafsiran tersebut tidak terlepas dari politik. Penafsiran Syiah pada waktu itu sebatas untuk menolak terhadap kepemimpinan golongan ahlussunnah dengn melakukan rongrongan atas kepemimpinan tersebut sehingga membuat gagasan yang dinilai terlalu berlebihan yaitu dengan mensucikan ali. Ini jelas kelihatan bahwa para tokoh agama dari golongan syiah tersebut belum mengupayakan sungguh-sungguh dan profesional untuk menemukan prinsip-prinsip dasar yang membedakan keyakinan keagamaan dan politik mereka sebagai sebuah ketetapan secara definitif dalam al-Quran sebagaimana yang diungkapkan oleh golziher.[1]
2.      Perihal khowarij
Perbedaan yang terjadi pada masa sahabat pada waktu itu menjadikan keteganga pada penganut dari indifidu-indifidu yang berbeda pandangan sehingga timbul golongan-golongan yng berbeda-beda. Di antaranya yaitu golongan khawarij. Golngan ini disebut oleh ali dengan orang (golongan yang keluar dan memberontak dengan nama al-haruriyyah yang sesungguhnya munculnya kelompok ini telah terilustrasikan oleh firman allah sebelum hal itu menjadi kenyataan pada 30 tahun kemudian. Mas’ab bin sa’d menceritakan bahwa sesungguhnya ia telah  bertanya kepada ayahnya tentang dua ayat dalam al-Quran (ayat 103-104 dari surah al-Kahfi)
103.  Katakanlah: "Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?"
104.  Yaitu orang-orang yang Telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.
Apakah yang dimaksud ayat tersebut adalah golongan haruriyah? Kemudian bapaknya menjawab sesungguhnya ayat yang ditujukan untuk ggolongan haruriyah itu bukan ayat ini tetapi ayat lain yaitu ayat  25 dari surah al-Ra’d;

25.  Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang Itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).
Mereka itulah yang disebut dengan golongan haruriyah.
Sedangkan golongan khawarij juga mengeluarkan statemen dari al-Quran yang dijadikan sebagai alasan permusuhannya dengan ali dan dalil legitimatif atas pembunuhan yang dilakukan oleh ibnu muljam atas diri Ali. Pada ayat 9 surat al-Hujurat pembicaraan tersebut berkisar seputar peperangan yang terjadi antara dua kelompok
“ dan jika ada dua orang mukmin yang berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan tersebut berbuat aniaya terhadap yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali pada perintah allah. Jika golongan itu telah kembali maka damaikanlah keduanya dengan adil. Dan berlaku adillah, sesungguhnya allah menyukai orang-orang yang adil.
 Ayat tersebut juga menjelaskan cara rekonsiliasi bagi orang-orang mukmin. Tafsir klasik merujuk penjelasan yang bersifat mendidik ini pada konflik yang terjadi pada masa rasulullah yaitu antara dua qabilah pribumi, suku aus dan khazraj jelas bahwa sesungguhnya dalam dalam konsepsi penafsiran yang lebih modern, kandungan makna dalam ayat dianggap belum cukup dengan hanya menghususkan konteks ayat tersebut pada masa kenabian,  karena dalam ayat tersebut ditemukan pula invormasi yang dinilai memiliki relevansi dengan peristiwa “konfrontasi” antara dua golongan umat islam yaitu keluarga ali ra. Dengan keluarga umaiyyah.
Inilah yang tercermin dalam tafsir-tafsir al-Quran pada tahap awal yang belum sampai pada tingkat perkembangan sektarian demi kepentingan sekte masing-masing. QS.Ibrahim ayat 28 yang berbunyi “tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan” ayat ini ditujukan kepada dua keluarga bani quraisy yang berbuat zalim yaitu bani mughirah dan bani mahzum di mana allah telah memutus (mengalahkannya) pada saat perang badar, serta bani umayyah yang sampai btas tertentu masih diberikan kemewahan.
3.      Ali Menurut Ahlu Sunnah
Di kalangan ahlu sunnah, sudah sejak lama muncul upaya-upaya positif untuk menakwilkan teks-teks al-Quran sebagai bentuk dukungan atas sahabat ali ra. Pada ayat 7 dari surat al-Ra’d “ orang-orang kafir berkata mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu tanda (kebesaran dari tuhan)nya? Sesungguhnya kamu hanyalah sang pemberi peringatan dan bagi tiap-tiap kaum ada yang memberi petunjuk. Diriwayatkan dari sa’d bin zubair yang dipuji oleh ibnu Abbas sebagai ahli hujjah agama yang paling terpercaya bahwa beliau meriwayatkan dari ibnu abbas ia berkata, ketika turun ayat “sesungguhnya engkaulah sang pemberi peringatan” rasulullah saw. meletakkan tangn di dadanya dan berkata “akulah sang pemberi peringatan” lalu beliau mengisyaratkan (meletakkan) tangannya pada bahu ali ra. Seraya berkata “ engkau adalah pemberi petunjuk wahai ali ra. Denganmulah orang-orang yang mengharapkan petunjuk setelahku nanti mendapat petunjuk.
Jelas dari riwayat diatas bahwa Ali berkemampuan pada bidang keilmuan, bukan pada legitimasi serta hak-hak Ali ra. Dan keluarganya dalam bidang politik (kekhalifahan) meskipun sejak awal mereka (syiah) mendasarkan hak-hak ini pada dalil-dalil syar’i yang bersumber dari al-Quran. Dan sangat jelas dalil yang dipegangi pertama kali oleh mazhab syiah “Alawy” adalah ayat 26 dari surah al-Isra’ “dan berikanlah terhadap keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang ada dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan uang dengn boros. Ayat ini menetapkan kewajiban bagi orang islam agar mau memberikan hak-hak keluarga yang lebih dekat dan menolong golongan miskin serta orang-orang yang membutuhkan pertolongan dengan dimulai; “ dan berilah kerabat dekat atas hak-hak mereka” golongan syiah kemudian merubah pemahaman ayat ini dari konteks kewajiban manusia menjadi konteks hukum pemerintahan dan membawa pemahaman ayat ini pada hak-hak politik keluarga Nabi saw.[2]
4.      Syiah dan mushaf usmani
Mengenai pola sikap golongan Syiah terhadap mushaf yang telah dihimpun oleh rezim Usmani mereka mergukan atas kebenarannya dan keasliannya tetapi secara umum pengikut syiah meragukan secara keseluruhan atas mushaf usmani, sejak dari kemunculannya terkaid dengan kebenaran (validitas)nya. Mereka meyakini bahwa mushaf usmani yang dinisbatkan kepada al-Quran yang benar yang dibawa oleh nabi muhammad saw mengandung banyak tambahan dan perubahan signifikanm sebagaimana di dalamnya terdapat pengurangan-pengurangan dengan cara memotong makna-makna penting dari al-Quran yang sahih dengan menjauhkan dan membuang makna. Tetapi apakah mereka sendiri memiliki teks ak-Quran yang benar dan diakui secara mutlak melibihi mazhab usmani? Kecenderungan ini tanpak jelas pada sekte syiah secara umum bahwa al-Quran yang sempurna yang diturunkan oleh Allah itu lebih banyak dan lebih panjang dari al-Quran yang beredar di kalangan umat muslim umumnya. Surah al-Ahzab yang dalam mushhaf Usmani mencakup 73 ayat. dahulu jumlah ayatnya tidak kurang dari jumlah ayat dari surat al-Baqarah yang mencakup286 ayat. Surah an-Nur yang saat ini 64 yang dahulu mencakup lebih dari 100m dan surat al-Hijr yang ayatnya berjumlah 99 ayat itu pada awalnya berjumlah 190 ayat.
Mereka tidak menghadirkan bagian-bagian yang kurang dari teks al-Quran sebagai gantinya mereka menampilkan surat-surat yang terlupakan dalam mazhab usmani dan surat-surat yang ditinggalkan tidak dimasukkan oleh jamaah mayoritas yang ditugaskan untuk menulis al-Quran oleh usman. Karena mereka para pengumpul mushaf dalam keyakinan syiah memiliki niat buruk dengan menganggap bahwa ayat-ayat tersebut (yang terlupakan) dianggap mengandung pemujian terhadap diri ali ra. Pernah ditemukan sebuah manuskrip al-Quran di India yang mencakup surah an-nurain yang berjumlah 41 ayat dan surat lain yang bercorak sekte syiah yang memiliki 7 ayat yaitu surah al-wilayah yakni tentang kewalian ali ra. Dan para imam sebagaimana ia juga memuat penafsiran-penafsiran yang beragam pada sisa surah yang sama.
5.      Urutan surah menurut syiah
Berdasarkan hadis yang dibuat oleh syiah, bahwa ali telah menyusun al-Quran (secara berurutan) menjadi 7 himpunan. Induk dari himpunan ini adalah sebagai berikut:
1)Surah al-Baqara, 2) surah ali imram 3) an-nisa 4) al-maidah, al-anamm, al-a’raf, al-anfal.
Setelah induk-induk pembuka surah dari tiap-tiap himpunan ini, lalu dihadirkan surat-surat lain secara berurutan yang berbeda dengan susunan surah pada mushaf usmani. Misalnya saja dalam himpunan pertama tersebut dihadirkan surat-surat secara berurutan, yaitu surat yusuf,al-ankabut ar-rum, luqman, fusshilat az-zariyat, al-insan ,al-sajdah, an-naziat, at-takwir, al-infithar, al-insyiqaq, al-a’la dan surah al-bayyinah. Dan demikian seterusnya dalam seluruh kumpulan surah yang lain. Pada surah paling akhir, diakhiri dengan dua surat yang menggunakan ta’awwuzd, tapi anehnya surat al-fatihah tidak memiliki tempat dalam tartib.[3]
6.      Contoh qiraat lain yang berbeda
Adapun bunyi surat yang ditafsirkan oleh golongan syiah untuk membenarkan anggapannya diantaranya adalah Surat al-Baqarah;143
 yang artinya  Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.
Lafat ummatan wasathan yang terdapat pada ayat di atas oleh Al-Imam Ja’far tidak mau mengakuinya, bahwa sesungguhnya ummat manusia dalam ayat tersebut  mendapatkan pujian sampai saat ini. Sehingga teks ayat tersebut  olehnya itu menurut imam ja’far di sini ditafsirkan dengan lafat; aimmat (jamak/para imam), seperti itulah maksud dari ayat yang diturunkan tersebut terdapat pada tafsir al-Qummi;54.
Ayat ini tidak ditunjukkan kepada umat, melainkan pada para imam. Sedangkan bukti atas hal itu adalah makna yang terkandung dalam ayat 78 dari surah al-hajh, dimana penafsiran sekte syiah itu akan membawa pemahaman atas kitab ayat tersebut (sebagaimana biasa) kepada para imam yang  berbunyi; “ dan begitu pula dalam al-Quran ini supaya rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia”.
Lafat ummat yang di ulang-ulang diberbagai surat, dan memiliki kandungan makna sebagai pujian atas para imam, maka oleh imam Ja’far digunakan untuk melakukan pembenaran atas ayat itu dengan mengganti lafat ummat, dengan lafat a’immat (para imam).
Contoh-contoh di atas pada saat tertentu, dapat menguatkan telaah-telaah mendasar, yang memungkinkan untuk melakukan perbandingan atas konsepsi-konsepsi dasar golongan ahlu sunnah disatu sisi, dengan konsepsi-konsepsi sekte syiah disisi lain. Dalam konteks ini, golongan ahlu sunnah menyediakan sebuah standar yang bagus bagi sistem perpolitikan serta sistem keagamaan, yang diperuntukkan bagi seluruh umat yaitu keselamatan sosial damn masyarakat muslim,alih-alih sekte syiah yang meletakkan sebuah standar yang hanya diperuntukkan bagi kepentingan sekte merekam serta kehujjahan para imam. Karena menurut sekte Syiah, kesepakatan umat tersebut dapat menyesatkan bahkan dalam perjalanan sejarahnya terdapat bukti yang menunjukkan bahwa kesepakatan umat tersebut adalah sebuah bentuk kesalahan yang telah merampas hak-hak legitimasi serta kebenaran. Adapun para imam, maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selamat atau terbebas dari aib, kesalahan dan kesesatan. Sedangkan kredibilitas dan kapabilitas indifidu mereka bukan atas dasar kesepakatan tapi merupakan ukuran standar bagi kebenaran mayoritas. Asumsi dasar konseptual inilah yang menuntun mereka melakukan perubahan dan menganggapnya sebagai suatu yang amat penting dalam rangka penggantian atau pengubahan kalimat ummat dalam setiap kesempatanm menjadi kalimat aimmah (para imam).
Menurut imam Ja’far, untuk menjaga kebenAran ayat tersebut maka beliau melakukan pentashihan sebagaimana berikut, yaitu pada ayat 74 dari surah al-Furqan; 74. “ Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”. imam ja’far tidak mampu memahami kandungan ayat tersebut, yang berarti, bahwa sesungguhnya allah menjadikan dari manusia sebagian orang-orang yang perkataannya menjadi teladan dan menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. Maka teks ayat tersebut menurut ja’far diturunkan yaitu “allah telah menjadikan kami (dengan mengisnadkan kata kerja tersebur kepada lafat allah) sebagai imam atas orang-orang yang bertakwa.
Dan kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.[4]
7.      Mu’tazilah dan penafsirannya
Di antara mazhab lain yang muncul ialah mu’tazilah, muncul akibat kntroversi perang saudara antara pihak ali dan zubair serta thalhah. Nama mu’tazilah dari arab a’tazala berarti mengambil jarak, memisahkan diri atau juga mengundurkan diri
Adapun contoh penafsirannya ialah sebagai mana yang terdapat pada tafsir al-kassaf dengan menggunkan ra’yu pada ayat 115 dari QS. Al-Baqarah;
115.  Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah[83]. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Ayat ini ditafsirkan oleh zamahsyari bahwa timur dan barat dan seluruh penjuru bumi adalah kepunyaan allah maka kemanapun manusia menghadap allah maka hendaklah menghadap kiblat, sesuai dengan firmannya QS.al-Baqarah 144
Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.
Sedangkan kata FASAMMA WAJHULLAHI oleh zamahsyari ditafsirkan bahwa di dalam masjidil haram terdapat allah sehingga tempat yang paling disenangi olehnya ialah masjidil haram dan manusia diperintahkan menghadap allah pada waktu salat untuk menghadap ke tempat tersebut akan tetapi bila ragu akan arah yang tepat untuk menghadap ke arah tersebut maka allah memberi kemudahan menghadap ke arah manapun dalam salat dan di tempat manapun sehingga tidak terikat oleh lokasi tertentu.[5]
  1. Penutup
Kepentingan-kepentingan politik dapat mengakibatkan perbedaan pandangan yang sangat jelas hingga dalam sebuah penafsiran atau dalam hal keagamaan sehingga mengakibatkan perpecahan-perpecahan yang timbul akibat darinya,  hal itu dikarenakan adanya pencarian pembenaran atas apa yang dilakukan dan upaya mereka dalam menafsirkan al-Quran tidak lepas dari sebuah kepentingan golongan itu sendiri. wallahu a’alam demikian sedikit uraian tentang tafsir sekte semoga memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca.





[1] Ignas Goldziher, Mazhab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern Cet I (Yogyakarta, Elsaq Press)h. 315-316
[2] Ibid 321-322
[3] Ibid 324-325
[4] Ibid 340-342
[5] Fauzan Naif, Studi Kitab Tafsir, Cet I Yogyakarta; Teras 2004;50-51

KAIDAH TAFSIR ( al-sual dan al-jawab fi-alquran)


AL-SUAL dan AL-JAWAB
Oleh: Miftahul Ihsan
                                               






JURUSAN USHULUDDIN PRODI TAFSIR HADIS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGETI SURAKARTA
2010/2011

AL-SU’AL dan AL-JAWAB
A.    PENDAHULUAN

Al-Quran dalam memberikan sebuah penjelasan sangat komprehensip, karenaya menjadi sebuah i’jaz tersendiri baginya, hal ini dapat diketahui lebih jelas dalam buku kajian tentang ulum al-Quran. Termasuk kaidah yang mengandung unsur tersebut ialah kaidah al-Sual dan al-Jawab dimana al-Quran menggunakan shigat tersebut tidak lain karena untuk memberi penjelasan yang lebih penting. Setiap pertanyaan pasti membutuhkan adanya sebuah jawaban sebagaimana kaidah umum yang menjelaskan bahwa setiap jawaban harus sesuai dengan apa yang ditanyakan. sebagai contoh ketika kita ditanya tentang umur pastilah jawaban itu adalah hitungan mulai satu dan seterusnya. Atau ketika dikatakan “dimana alamatmu” pasti jawaban yang muncul ialah mengenai tempat dimana ia tinggal. Begitulah kaidah umum berlaku. Akan tetapi dalam al-Quran tidak demikian ada yang sepintas dianggap tidak sesuai dengan kaidah umum. Untuk lebih jelasnya perhatikan uraian berikut.

B.     PEMBAHASAN

1.      Pengertian
Sebelum pengertian dari al-Sual dan al-Jawab diuraikan perlu diketahui bahwa setiap pertanyaan pasti membutuhkan jawaban, dan setiap jawaban harus sesuai dengan jawaban pertanyaan tersebut. Hal ini didasarkan atas kaidah yang sudah umum dalam berkomunikasi. Akan tetapi kaidah umum tersebuttidak berlaku lagi bila dikaitkan dengan al-Qur’an. Dalam al-Qur’an jawaban tidak harus sesuai dengan apa yang menjadi fokus pertanya’an karena di dalamnya terdapat suatu hal yang lebih penting dari apa yang menjadi fokus pertanyaan tersebut.
Mengenai pengertian dari al-Su’al itu sendiri Nor Ihwan dalam bukunya yang dikutip dari Khalid Abd al-Rahman al-Akk, menegaskan bahwa yang disebut dengan al-Sual (pertanyaan) ialah sebagai suatu perkataan yang dijadikan permulaan. Sedangkan al-Jawab (jawaban) ialah perkataan yang dikembalikan kepada si penanya.[1] Jadi dilihat dari definisi tersebut disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-Su’al itu tidak harus berupa pertanyaan, boleh jadi al-Sual tersebut tidak berupa pertanyaan akan tetapi berbentuk permintaan sebagaimana yang ditunjukkan  dalam QS. Yunusl10:15
tA$s% šúïÏ%©!$# Ÿw tbqã_ötƒ $tRuä!$s)Ï9 ÏMø$# Ab#uäöà)Î/ ÎŽöxî !#x»yd ÷rr& ã&ø!Ïdt/ 4 ö@è% $tB Ücqä3tƒ þÍ< ÷br& ¼ã&s!Ïdt/é& `ÏB Ç!$s)ù=Ï? ûÓŤøÿtR
Yang dimaksudkan oleh penulis dari pengertian al-Sual yang mempunyai arti permintaan (bukan pertanyaan) di atas terdapat pada kalimat a’ti biqur’anin ghoiri hazda. Akan tetapi kebanyakan dari kaidah al-Sual ini banyak menggunakan sighat-sighat pertanyaan yang uraiannya akan dijelaskan di pembahasan yang selanjutnya.

2.      Kaidah Al-Su’al Dan al-Jawab Serta Makna Penting Yang Terkandung di Dalamnya.

Sebagaimana uraian di atas bahwa al-Quran berbeda dengan kaidah umum. Al-Quran dalam memberikan jawaban kadang terlihat tidak sesuai dengan apa yang seharusnya menjadi fokus dari pertanyaan tersebut. Demikian itu dikarenkan ada sesuatu yang dianggap lebih penting dari apa yang dimaksudkan dari pertanyaan tersebut. Perhatikan QS.al-Baqarahl2:189
tRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur
                        Sighat al-Sual yang digunakan dalam ayat di atas menggunakan lafat yas’alunaka. Adapun yang melatar belakangi turunnya ayat ini ialah ketika itu ada sekelompok orang yang menanyakan perihal bulan sabit kepada rasulullah. Mengapa pada mulanya ia tampak kecil seperti benang kemudian bertambah sedikit demi sedikit hingga menjadi purnama kemudian menyusut terus-menerus sampai kembali seperti semula.[2] Seharusnya pertanyaan itu cukup dijawab dengan proses perubahan bulan tersebut karena yang ditanyakan tentang keadaan dari bulan tersebut. Akan tetapi al-Quran memberikan yang lain, yaitu dengan menjelaskan hikmah dari proses perubahan yang terjadi pada bulan tersebut dengan mengatakan bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan untuk musim haji.[3] al-Quran menggunakan jawaban demikian boleh jadi karena ada asumsi lain yang dipertanyakan, dalam arti tidak terpaku hanya perihal perubahan bulan sabit semata tapi juga menginginkan manfaat yang terkandung di dalamnya.[4]
Jawaban dari teks yang digunakan al-Qur’an di atas  dapat dikatakan tidak sesuai dengan pertanyaan, akan tetapi kalau diamati dengan seksama serta melihat analisis yaitu tentang asumsi-asumsi di atas maka jawaban tersebut masih ada kesesuaian. Dengan demikian jawaban yang diberikan tersebut tidak menyalahi kaidah umum yang berlaku.
Adapun jawaban dari sebuah su’al kadang-kadang bersifat lebih umum dari apa yang dipertanyakan, dan ada kalanya juga lebih sempit dari pertanyaan karena demikianlah yang dikehendaki.
Adapun pembagian yang pertama sebagaimana yang terkandung pada QS. Al-An’aml6:64
È@è% ª!$# Nä3ÉdfuZム$pk÷]ÏiB `ÏBur Èe@ä. 5>öx. §NèO öNçFRr& tbqä.ÎŽô³è?
“katakanlah”Allah menyelmatkan kamu dari pada bencana itu dan dari segala macam kesusahan kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya.

Maksud dari ayat di atas ialah bahwa Allahlah yang mampu menyelamatkan dari bencana tersebut. Baik di arat maupun di laut. Bahkan allah jugalah yang menyelamatkan dari segala macam kesusahan. Jawaban ini dianggap sebagai jawaban yang umum dan lebih komprehensip dari pertanyaan yang terdapat dalam ayat sebelumnya yang berbunyi:
ö@è% `tB /ä3ŠÉdfuZム`ÏiB ÏM»uHä>àß ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur ¼çmtRqããôs? %YæŽ|Øn@ ZpuŠøÿäzur ÷ûÈõ©9 $uZ8pgUr& ô`ÏB ¾ÍnÉ»yd ¨ûsðqä3uZs9 z`ÏB tûï̍Å3»¤±9$#
“katakanlah”  siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut yang kamu berdoa kepadanya dengan berendah diri dan dengan suara yang lembut. (QS. Al-An’aml6:63).

Redaksi dari ayat ini ialah mempertanyakan tentang siapa orang yang mampu menyelamatkan dari bencana yang ada di darat dan di laut. Dalam artian yang disoroti oleh pertanyaan tersebut hanya dua bencana yaitu di darat dan di laut. Tetapi al-Quran memberikan jawaban yang lebih dari pertanyaan yang terkandung dalam ayat di atas sebagaimana yang telah teruraikan dalam penjelasan ayat setelahnya yang terdapat dalam ayat ke 64 dari sura al-An’am karena allah ingin memberi pengetahuan kepada manusia dengan memberi jawabanlpenjelasan lebih, bahwa hanya Allahlah yang mampu melakukan itu. Inilah yang dimaksudkan dari ungkapan “karena demikianlah yang dikehendaki”.
Contoh yang sama dapat dijumpai pula dalam QS. Al-Syuaral26:71;
(#qä9$s% ßç7÷ètR $YB$uZô¹r& @sàoYsù $olm; tûüÏÿÅ3»tã
Mereka menjawab: "Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya".

Teks ayat ini adalah jawaban dari pertanyaan yang disebutkan oleh ayat sebelumnya tang berbunyi:
øŒÎ) tA$s% ÏmÎ/L{ ¾ÏmÏBöqs%ur $tB tbrßç7÷ès?
‘Ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya; apakah yang kamu sembah?

Sebenarnya ayat ini mempertanyakan tentang apa yang sebenarnya disembah oleh mereka.dengan menjawab “berhala” swbenarnya sudah cukup, akan tetapi mereka sengaja menambahi jawabannya dengan maksud untuk menunjukkan keseriusan mereka dalam menyembah sesembahannya itu. Boleh jadi juga dengan menambahi jawaban itu dapat dipahami bahwa mereka menantang memancing kemarahan sipenanya.[5]
                        Adapun bentuk jawaban yang bersifat lebih sempit cakupannya dari yang dipertanyakan dan memang demikian yang dikehendaki ialah sebagaimana terdapat dalam QS. Yunus/10;15:
 ö@è% $tB Ücqä3tƒ þÍ< ÷br& ¼ã&s!Ïdt/é& `ÏB Ç!$s)ù=Ï? ûÓŤøÿtR
Katakanlah, tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri.
Ayat ini sebagai jawaban dari ayat yang mengandung sebuah permintaan sebelumnya yaitu:
ÏMø$# Ab#uäöà)Î/ ÎŽöxî !#x»yd ÷rr& ã&ø!Ïdt/
Su’al yang terkandung dalam ayat diatas terdapat dua tuntutan pokok yaitu permintaan mendatangkan al-Quran lain. Dan tuntutan kalau tidak mampu mendatangkan yang lain maka dituntut untuk menggantinya. Menanggapi ini al-Quran tidak memberi jawaban yang komprehensip bahkan hanya fokus dalam satu hal yaitu yang terkait dengan tuntutan untuk menggantinya. Jawaban dari al-Quran tersebut memberi pelajaran terhadap kita bahwa mengganti itu lebih mudah dari pada menciptakan kembali, pasti akan lebih sulit.
3.      Pola al-Sual dan al-jawab dalam al-Qur’an
Abd al-Rahman al-Akk mengatakan bahwa pola tersebut terbagi menjadi lima pola.[6]
Pertama, jawaban bersambung (muttashil) dengan pertanyaan seperti dalam firman Allah QS. Al-Baqarah/2:215;
 štRqè=t«ó¡o #sŒ$tB tbqà)ÏÿZム( ö@è% !$tB OçFø)xÿRr& ô`ÏiB 9Žöyz ÈûøïyÏ9ºuqù=Î=sù tûüÎ/tø%F{$#ur 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡pRùQ$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# 3 $tBur (#qè=yèøÿs? ô`ÏB 9Žöyz ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOŠÎ=tæ ÇËÊÎÈ
Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.

Jawab tersebut ditunjukkan dengan menggunakan lafazh qul yang sambung dengan pertanyaannya yaitu yang bergaris bawah di atas.
Sebagaimana keterangan yang di depan yaitu jawaban ada yang lebih komprehensip dari pertanyaannya, ini berlaku juga pada ayat di atas bahwa dilihat dari asbab nuzulnya bahwa sesungguhnya orang-orang muslim bertanya “apa yang mesti kami infakkan ya rasul?[7]’. Tapi oleh al-Quran diberikan jawaban tidak hanya apa yang harus dinafkahkan akan tetapi juga tentang orang-orang yang berhak menerimanya.
 Kedua, jawabannya terpisah (munfasil) dengan al-Su’alnya terdapat dalam satu surah maupun dalam surah yang lain, adapun contoh yang terpisah dalam satu surah yaitu QS. Al-Furqan/25:7;
(#qä9$s%ur ÉA$tB #x»yd ÉAqߧ9$# ã@à2ù'tƒ uQ$yè©Ü9$# ÓÅ´ôJtƒur Îû É-#uqóF{$#   Iwöqs9 tAÌRé& Ïmøs9Î) ҁn=tB šcqä3uŠsù ¼çmyètB #·ƒÉtR ÇÐÈ
Dan mereka berkata: "Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia?,
Al-Sual yang terdapat pada ayat di atas dijawab dengan ayat yang lain tapi masih dalam satu surah yaitu pada ayat ke 20:
!$tBur $oYù=yör& šn=ö6s% z`ÏB šúüÎ=yößJø9$# HwÎ) öNßg¯RÎ) šcqè=ä.ù'us9 tP$yè©Ü9$# šcqà±ôJtƒur Îû É-#uqóF{$# 3 $oYù=yèy_ur öNà6ŸÒ÷èt/ <Ù÷èt7Ï9 ºpuZ÷FÏù šcrçŽÉ9óÁs?r& 3 tb%Ÿ2ur y7/u #ZŽÅÁt/ ÇËÉÈ
Dan kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha Melihat.

Adapun contoh dari jawaban yang berada oada surah yang lain yaitu QS. Al-Furqan/25:20:
#sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% ãNßgs9 (#rßßÚó$# Ç`»uH÷q§=Ï9 (#qä9$s% $tBur ß`»oH÷q§9$# ßàfó¡nSr& $yJÏ9 $tRããBù's? öNèdyŠ#yur #YqàÿçR  
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Sujudlah kamu sekalian kepada yang Maha Penyayang", mereka menjawab:"Siapakah yang Maha Penyayang itu? apakah kami akan sujud kepada Tuhan yang kamu perintahkan kami(bersujud kepada-Nya)?", dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh (dari iman).

Pertanyan mengenai ‘siapa al-Rahman/yang maha penyayang itu” dijawab dengan surah yang lain yaitu surah al-Rahman yang mana disini dijelaskan lebih gamblang dari apa yang dipertanyakan tersebut.
Ketiga dijawab dengan dua jawaban yang terdapat dalam masing-masing surah yang berbeda juga. Bentuk seperti ini dicontohkan dalam QS.Zuhruf/43:31-32:
(#qä9$s%ur Ÿwöqs9 tAÌhçR #x»yd ãb#uäöà)ø9$# 4n?tã 9@ã_u z`ÏiB Èû÷ütGtƒös)ø9$# ?LìÏàtã ÇÌÊÈ óOèdr& tbqßJÅ¡ø)tƒ |MuH÷qu y7În/u
Dan mereka berkata: "Mengapa Al Quran Ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini[1357]?"
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu
[1357]  mereka mengingkari wahyu dan kenabian Muhammad s.a.w., Karena menurut pikiran mereka, seorang yang diutus menjadi Rasul itu hendaklah seorang yang Kaya raya dan berpengaruh.

Pertanyaan di atas dijawab oleh al-Quran dengan dua jawaban. yang pertama dalam surah yang sama yaitu pada ayat 32:
ß`øtwU $oYôJ|¡s% NæhuZ÷t/ öNåktJt±ŠÏè¨B Îû Ío4quŠysø9$# $u÷R9$# 4 $uZ÷èsùuur öNåk|Õ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uyŠ xÏ­GuÏj9 NåkÝÕ÷èt/ $VÒ÷èt/ $wƒÌ÷ß 3 àMuH÷quur y7În/u ׎öyz $£JÏiB tbqãèyJøgs ÇÌËÈ
Kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.

Jawaban kedua dari pertanyaan tersebut ialah QS. Al-Qashash/28:68:

šš/uur ß,è=øƒs $tB âä!$t±o â$tFøƒsur 3 $tB šc%Ÿ2 ãNßgs9 äouŽzÏƒø:$# 4 z`»ysö6ß «!$# 4n?»yès?ur $£Jtã tbqà2ÎŽô³ç ÇÏÑÈ
Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dia kehendaki dan memilihnya. sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka[1134]. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).

[1134]  bila Allah Telah menentukan sesuatu, Maka manusia tidak dapat memilih yang lain lagi dan harus menaati dan menerima apa yang Telah ditetapkan Allah.

Keempat ialah pertnyaan yang jawabannya tidak disebutkan. Sebagaimana terdapat dalam QS. Muhammad/47:14;
`yJsùr& tb%x. 4n?tã 7poYÉit/ `ÏiB ¾ÏmÎn/§ `yJx. z`Îiƒã ¼çms9 âäþqß ¾Ï&Î#uHxå (#þqãèt7¨?$#ur Lèeuä!#uq÷dr& ÇÊÍÈ
Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Rabbnya sama dengan orang yang (shaitan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya?
Menanggapi masalah ini khalid abd al-Rahman al-Akk mengatakan bahwa jawaban tersebut bukannya tidak ada akan tetapi dibuang (mahzuf) karena hal ini sama dengan halnya orang yang menginginkan gemerlapnya kehidupan dunia.[8]
Kelima, jawaban didahlukan daripada pertanyaanm seperti yang terdapat pada QS. Shad/38:1;
üÉ 4 Éb#uäöà)ø9$#ur ÏŒ ̍ø.Ïe%!$# ÇÊÈ
Shaad, demi Al Quran yang mempunyai keagungan.
Ayat di atas adalah sebuah jawaban terhadap pertanyaan yang terdapat dalam ayat 4 dari surah yang sama, yaitu;
(#þqç6Ågxur br& Mèduä!%y` ÖÉZB öNåk÷]ÏiB ( tA$s%ur tbrãÏÿ»s3ø9$# #x»yd ֍Ås»y ë>#¤x. ÇÍÈ
Dan mereka heran Karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: "Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta".

Jadi dilihat dari semua uraian di atas dapat dimengerti bahwa dalam al-Quran bentuk al-Su’al tersebut tidak harus dijawab dengan secara langsung adakalanya juga dijawab dengan tempo, tempat/surah yang berbeda sehingga dengan demikian itu al-Quran tidak dimaknai secara terpotong-potong. Serta hubungan ayat dengan ayat yang lain itu menjadi diperhatikan.
C.     PENUTUP
Melihat dari uraian penjelasa diatas jelas bahwasannya al-Qur’an memberi penjelasan yang lebih dan semua itu mengandung maksut tersendiri sebagaimana uraian di atas. Maka dengan ini diharapkan agar penafsir yang hendak menafsirkan sebuah ayat seyogyanya memperhatikan bentuk-bentuk ungkapan dalam al-Qurn tersebut dan menggali makna/maksud apa yang terkandung di dalamnya.
Demikian ini penulis menuliskankan makalah tentang kaidah al-Sual dan al-Jawab serta mencoba untuk memberri uraian tentang makna yang terkandung di dalamnya yang dikutip dari beberapa pendapat ulamatafsir semoga sedikit banyak dapat memberikan manfaat. Amin.  

DAFTAR PUSTAKA
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran, T.tp Mansyurat al-Asar al-Hadis, t.th
Nor Ihwan, Memahami Bahasa Al-Quran, , 2002, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Qamaruddin Saleh Dkk, Asbabun Nuzul, 1997, Bandung, Diponegoo, cet xix
Abd al-Rahman al-Akk, Ushulul al-Tafsir wa Qawaiduhu, 2003, Beirut:Dar al-Nafa’is, cet ke4


[1]Nor Ihwan,  Memahami Bahasa Al-Quran, (yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002), hal.74. lihat juga Abd al-Rahman al-Akk, Ushulul al-Tafsir wa Qawaiduhu, (Beirut:Dar al-Nafa’is, 2003) cet ke4, hal.312
[2] Qamaruddin Saleh Dkk, Asbabun Nuzul, (Bandung, Diponegoo, 1997) cet xix, hal.59
[3] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran, (T.tp Mansyurat al-Asar al-Hadis), t.th hal. 205
[4] Nor Ihwan, Memahami Bahasa Al-Quran, (yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002), hal. 74
[5] Ibid. Hal. 77
[6] Abd al-Rahman al-Akk, Ushulul al-Tafsir wa Qawaiduhu, (Beirut:Dar al-Nafa’is, 2003) cet ke4, hal. 318. Lihat juga Nor Ihwan, Memahami Bahasa Al-Quran, (yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002), hal. 79.
[7] Qamaruddin Saleh Dkk, Asbabun Nuzul, (Bandung, Diponegoo, 1997) cet xix, hal.70.
[8] Abd al-Rahman al-Akk, Ushulul al-Tafsir wa Qawaiduhu, opcit. hal.319. 



SEMOGA BLOG INI BERMANFAAT BAGI ANDA.................